Minggu, 11 Juni 2017

Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia dan Problem Penyakit Budaya



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak lama seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras dan antar golongan. Kita diseur untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika, artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsure utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam studi social ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai ini merupakan bentuk sosialisasi nilsai yang terkandung dalam multicultural.
Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme Negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan dari pada keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal-suku, agama, ras, golongan- yang seharusnya menjadi hasanah dan modal untuk membangun sering kali dimanipulasi oleh penguasa untuk mencapai kepentinya politiknya. Maka ketika kemudin  konflik bergejolak di daerah, Negara seakan- akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial.
Bertolak dari kenyataan itu, kini di rasakan semakin perlunya kebijakan multicultural yang memihak keragaman. Dari kebijaka itu nantinnya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara positif. Dengan demikian, perbedaaan dalalm beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat kearah lebih baik.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa-apa saja problem pendidikan multicultural yang terjadi di Indonesia?
2.      Apa penyebab terjadinya permasalahan-permasalahan pada pendididkan multicultural di Indonesia?
3.      Apa pengertian dari prasangka, stereotype, etnosentrisme, rasisme, diskriminasi, dan scape goating?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia
Problema pendidikan multikultural di Indonesia antara lain:
1.      Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan rasa, misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam  mengantisipasi  hal  itu,  keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah  tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
2.      Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan  demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan  ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep  “putra  daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam  membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep  pembagian  wilayah  menjadi propinsi atau  kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.
3.      Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”) seluruh pluralitas negeri  ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai  integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi  sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan.
Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika Orde  Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan  dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
4.      Fanatisme Sempit
Fanatisme  dalam  arti  luas  memang diperlukan, namun yang salah yaitu fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan  terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan  dan  kebanggaan  pada  korps memang baik dan sangat diperluka, namun kecintaan dan kebanggaan itu  bila ditunjukkan  dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
5.      Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada  tarik  menarik  antara  kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin  mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah  kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di  sisi  multikultural,  kita  melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.
6.      Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas dua puluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada  kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah  yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang  menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.
7.      Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa
Di  antara  media  massa  tentu ada ideologi yang  sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat  perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif, sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan.
Ketika  penggusuran  gubuk  liar  yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak  atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot yaitu tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk  liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan  putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.
B.     Problem Penyakit Budaya: Prasangka, Stereotipe, Etnosentrisme, Rasisme, Diskriminasi, dan Scape Goating (kambing Hitam)
Konflik bukan untuk di musuhi, tetapi di kelola secara arif dan bijaksana. Masing-masing individu yang terlibat dalam komplik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme, diskriminasi, dan scape goating (kambing hitam) terhadap pihak lain. Karena pemahaman terhadap adanya  penyakit budaya tersebut merupalan kunci utama dalam proses resolusi dan manajemen konflik. Negara ini membutuhkan solusi yang memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatism di daerah-daerah yang lebih sering di sebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai penyakit budaya seperti berikut ini:
1.      Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of Predujice pada tahun 1954. Istilah berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhada orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dirasakan atau dinyatakan. Allport memang sangat menekankan antipati bukan sekedar pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan.
Menurut johnson (1981) prasangka adalah sikap intipati berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif terhadap sesorang atau sekolompok orang dibandingkan dengan kelompok sendiri.
Definisi Allport disanggah oleh psikolog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selata AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul dari pribadi berprasangka yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa prasangka merupakan sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran, sedangka diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata maka pasangka berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpkir sesuatu stereotipe), dan konasi (kecenderungan berperilaku diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
·         Generalisasi yang keliru pada perasaan
·         Stereotipe antar etnik
·         Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai     kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “ kami”.
2.      Sterotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non verbal selain itu juga, merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukan perbedaan “kami” yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok “kami” dan cenderung mengevaluasi orang lain yng dipandang inferior “mereka”.
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap sesorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena dia berasal dari kelompok lain. Pemberian sifat tersebut bisa positif maupun negatif.
Vedeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap juga karakter yang dimiliki sesorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif, maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu.
Allan G. Johson (1986) stereotipe adalah keyakinan sesorang dalam menggeneralisasikan sifat-sifat tertentuyang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbukan penilaian yang cenderung negatif bahkan merendahkan orang lain. Ada kecenderungan memberikan “label” atau cap tertetu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau merendahkan kelompok lain.
Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagi hal yang berkaitan dengan ras, suku, agama, dan antar agama. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi.
Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe yaitu :
a)      Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya, wanita periang itu suka bersolek.
b)      Bentuk atau sifat perilaku turun menurun sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya, oran ambon itu keras.
c)      Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompik kepada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis stereotipe yaitu :
1)      Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan oleh individu dengan menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukurang luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan penglaman individu).
2)      Stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.
Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalam dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok itu sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan komunikasi
Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe :
a)      Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tentu berdasarkan sifat psikologis yang dimliki.
b)      Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap porses informasi individu.
c)      Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).
d)     Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3.       Entosentrisme
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri. Etnosentrisme merupakan paham-paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Berpandangna bahwa manusia pada dasarnya individualistis yag cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat antagonistik. Supaya pertentangan itu dapat dicegah maka perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang memiliki folkways yang sama cenderung berkelompok dalam satu kelompok yang disebut etnis.
Sebab-sebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia. Salah satu faktor yang mendasar yang menjadi penyebab munculnya etnosentrisme di Bangsa ini adalah budaya politik masyarakat yang cenderung tradisional dan tidak rasionalis. Budaya politik masyarakat kita masih tergolong budaya politik subjektif Ikatan emosional –dan juga ikatan-ikatan primordial- masih cenderung menguasai masyarakat kita. Masyarakat kita terlibat dalam dunia politik dalam kerangka kepentingan mereka yang masih mementingkan suku, etnis, agama dan lain-lain. Aspek kognitif dan partisipatif masih jauh dari masyarakat kita.
Salah satu faktor yang juga menjadi penyebab munculnya masalah etnosentrisme adalah pluralitas Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. Pluralitas masyarakat Indonesia ini tentu melahirkan berbagai persoalan. Setiap suku, agama, ras dan golongan berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan menguasai yang lain.Pertarungan kepentingan inilah yang sering memunculkan persoalan-persoalan di daerah.
Contoh Etnosentrisme di Indonesia. Salah satu contoh etnosentrisme di Indonesia adalah perilaku carok dalam masyarakat Madura. Menurut Latief Wiyata, carok adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara sepintas, konsep carok dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak masuk akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok dinilai dengan pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang beranggapan bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan dianggap tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat Madura, harga diri merupakan konsep yang sakral dan harus selalu dijunjung tinggi dalam masyarakat. Oleh karena itu, terjadi perbedaan penafsiran mengenai masalah carok antara masyarakat Madura dan kelompok masyarakat lainnya karena tidak adanya pemahaman atas konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok tersebut dalam masyarakat Madura. Contoh etnosentrisme dalam menilai secara negatif konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak ditentang oleh para ahli ilmu sosial.
4.      Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa prancis dan itali “razza” pertama kali istilah ras dikenalkan Franqois Bernier, antropolog perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang perbedaa manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hirarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua.
Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Bufon, anthorpolog perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologis membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu kaukasoid, negroid dan mongoloid. Hasil penilitian menunjukan bahawa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam satu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.
Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non- biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultur  Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultur. Ada empat jenis ras yaitu : afrika, mongol, dan amerika yang berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning), dan sore (senja) yang merah.
Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultur dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5.      Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau,1999). Misalnya banyak perusahaan yang menolak mempekerjakan karyawan dari etnik tertentu. Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan kuat prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut.
Prasangka menunjukkan pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri individu masing-masing. Diskriminasi menunjukkan pada suatu tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak dapat dipisahkan.Seseorang yang mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya.
Demikian juga sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Sedangkan diskriminasi menurut Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah ketidak seimbangan atau ketidak adilan yang ditujukan oleh orang atau kelompok lain yang biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesuku bangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Diskriminasi bersifat aktif dari prasangka yang bersifat negatif (negative prejudice) terhadap seorang individu atau suatu kelompok.
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasi.
6.      Scapegoating
Teori kambing hitam mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang yahudi sebagai penyebab rusaknya sistim politik dan ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di auscwitz, polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan ke jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa aria (jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di jerman disebabkan oleh bagsa yahudi.

                                                                                                                                                                  
DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar