BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak
lama seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan
secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras dan antar
golongan. Kita diseur untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan
bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan dalam perbedaan sebagaimana
semboyan Bhineka Tunggal Ika, artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai
dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsure utama yang mempersatukan bangsa
ini dan bukan dijadikan alasan terjadinya konflik. Dalam studi social ajakan
agar selalu hidup berdampingan secara damai ini merupakan bentuk sosialisasi
nilsai yang terkandung dalam multicultural.
Kesadaran
akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme
Negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan dari pada
keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal-suku, agama, ras, golongan- yang
seharusnya menjadi hasanah dan modal untuk membangun sering kali dimanipulasi
oleh penguasa untuk mencapai kepentinya politiknya. Maka ketika kemudin konflik bergejolak di daerah, Negara seakan-
akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa” atau
“stabilitas nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagai akibat
pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial.
Bertolak
dari kenyataan itu, kini di rasakan semakin perlunya kebijakan multicultural
yang memihak keragaman. Dari kebijaka itu nantinnya diharapkan masyarakat dapat
mengelola perbedaan yang ada secara positif. Dengan demikian, perbedaaan dalalm
beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya
mendorong dinamika masyarakat kearah lebih baik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa-apa saja
problem pendidikan multicultural yang terjadi di Indonesia?
2.
Apa penyebab
terjadinya permasalahan-permasalahan pada pendididkan multicultural di
Indonesia?
3.
Apa pengertian
dari prasangka, stereotype, etnosentrisme, rasisme, diskriminasi, dan scape
goating?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Problema
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Problema pendidikan multikultural di Indonesia antara lain:
1.
Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman
budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga
untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat
berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan
sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak
adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru
dapat menjadi konflik. Konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia
dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan rasa,
misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk
dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam
mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui
sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya,
diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara
dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui
Pendidikan Multikultural. Adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan
masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati
dan bisa saling berkomunikasi.
2.
Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak
dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada
beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling
menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya
lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan
kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi.
Kebudayaan,
sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat,
melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu
bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut
kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu
kedaerahan.
Konsep
“putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan
sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak
perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos
penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan
berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah
adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus
dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit.
Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri,
keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif
ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah
dan pendatang.
Konsep
pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang
marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar
mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan
memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka
berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.
3.
Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman
budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”)
seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa,
kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa
ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila
kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan
semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang
dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus
ditinggalkan.
Pada masa
Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika
Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru
dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya
Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya
tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme
perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi
bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan
Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat
membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan
isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
4.
Fanatisme Sempit
Fanatisme
dalam arti luas memang diperlukan, namun yang salah yaitu
fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling
benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang
banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek
(bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air.
Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang
berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi
buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan
dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim
kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan
dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperluka,
namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap
memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme
sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian
antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia
yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit
ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon,
Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah
disintegrasi bangsa.
5.
Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada
tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan
gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa
dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita
pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai
kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh
dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah
menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru
menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini
bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini
dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai
sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak
poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di
sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin
memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang
berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan
OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian
damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima
perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI
telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.
6.
Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara
Kelompok Budaya
Kejadian
yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah
diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga
pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli.
Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata
dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan
orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian
dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat
di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas dua puluh ribu orang
akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui
maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal
ini.
Orang akan
dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika
himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka
pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia
tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil
mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai
peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan
yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan
cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari
pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil
itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok
tertindas ini.
7.
Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya
Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa
Di
antara media massa tentu ada ideologi yang sangat
dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik
untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak
pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang
pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat
merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat
pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang
setimpal” baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan
budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu
sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau
terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini
akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang
bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis
yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif, sehingga
kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend
yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan.
Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron
karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan
segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan
modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang
melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus
membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik.
Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di
negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi
tontonan.
Ketika
penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam
bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan
dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi
pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan
petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot yaitu tangisan
bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung.
Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan
berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus
asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan
pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai
peristiwa.
B. Problem Penyakit Budaya: Prasangka, Stereotipe, Etnosentrisme,
Rasisme, Diskriminasi, dan Scape Goating (kambing Hitam)
Konflik bukan
untuk di musuhi, tetapi di kelola secara arif dan bijaksana. Masing-masing
individu yang terlibat dalam komplik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari
prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme, diskriminasi, dan scape goating
(kambing hitam) terhadap pihak lain. Karena pemahaman terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupalan kunci
utama dalam proses resolusi dan manajemen konflik. Negara ini membutuhkan
solusi yang memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatism di
daerah-daerah yang lebih sering di sebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai
penyakit budaya seperti berikut ini:
1. Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari
Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The
Nature of Predujice pada tahun 1954. Istilah berasal dari praejudicium, yakni
pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman
yang dangkal terhada orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang
salah atau tidak luwes. Antipati itu dirasakan atau dinyatakan. Allport memang
sangat menekankan antipati bukan sekedar pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan
prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe
kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk
menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai
yang kita berikan.
Menurut johnson (1981) prasangka
adalah sikap intipati berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan
tidak fleksibel. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada
seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah
satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang
melancarkan komunikasi.
Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan
negatif terhadap sesorang atau sekolompok orang dibandingkan dengan kelompok
sendiri.
Definisi Allport disanggah oleh
psikolog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter
mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selata
AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi
pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian
kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul
dari pribadi berprasangka yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian yang
dikemukakan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa prasangka merupakan sikap,
pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran,
sedangka diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah
menjadi tindakan nyata maka pasangka berubah menjadi diskriminasi yaitu
tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan,
dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka
mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu
berpkir sesuatu stereotipe), dan konasi (kecenderungan berperilaku
diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas
sebab-sebab seperti :
·
Generalisasi
yang keliru pada perasaan
·
Stereotipe
antar etnik
·
Kesadaran “in
group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang
kebudayaan dengan “ kami”.
2. Sterotipe
Stereotipe merupakan salah
satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas
tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis
kelamin, kebangsaan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non verbal selain
itu juga, merupakan salah satu bentuk utama prasangka
yang menunjukan perbedaan “kami” yang selalu dikaitkan dengan superioritas
kelompok “kami” dan cenderung mengevaluasi orang lain yng dipandang inferior
“mereka”.
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap sesorang berdasarkan
kategori yang bersifat subjektif hanya karena dia berasal dari kelompok lain.
Pemberian sifat tersebut bisa positif maupun negatif.
Vedeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap juga karakter yang
dimiliki sesorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif, maupun positif
orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu.
Allan G. Johson (1986) stereotipe adalah keyakinan sesorang dalam
menggeneralisasikan sifat-sifat tertentuyang cenderung negatif tentang orang
lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini
menimbukan penilaian yang cenderung negatif bahkan merendahkan orang lain. Ada
kecenderungan memberikan “label” atau cap tertetu pada kelompok tertentu dan yang
termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau
merendahkan kelompok lain.
Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu
memberi informasi yang benar tentang berbagi hal yang berkaitan dengan ras,
suku, agama, dan antar agama. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu
kelompok telah dikategorisasi.
Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial
dari stereotipe yaitu :
a) Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan
berperilaku, gender dan etnis. Misalnya, wanita periang itu suka bersolek.
b) Bentuk atau sifat perilaku turun menurun sehingga seolah-olah melekat pada
semua anggota kelompok. Misalnya, oran ambon itu keras.
c) Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompik
kepada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Tajfel (1981)
membedakan bentuk atau jenis stereotipe yaitu :
1) Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan oleh individu dengan
menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukurang luas dan jarak
tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan penglaman
individu).
2) Stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu menjadi evaluasi kelompok
tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.
Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun
kadang merupakan hasil pengalam dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan
anggota kelompok itu sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan
komunikasi
Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses
stereotipe :
a) Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau
mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tentu
berdasarkan sifat psikologis yang dimliki.
b) Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima
atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap porses informasi
individu.
c) Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group)
dan kelompok lain (out group).
d) Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3.
Entosentrisme
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua
norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri.
Etnosentrisme merupakan paham-paham yang pertama kali diperkenalkan oleh
William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran
interaksionisme. Berpandangna bahwa manusia pada dasarnya individualistis yag
cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan
manusia lain, maka terbentuklah sifat antagonistik. Supaya pertentangan itu
dapat dicegah maka perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada
pola-pola tertentu. Mereka yang memiliki folkways yang sama cenderung
berkelompok dalam satu kelompok yang disebut etnis.
Sebab-sebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia. Salah satu faktor yang mendasar yang
menjadi penyebab munculnya etnosentrisme di Bangsa ini adalah budaya politik
masyarakat yang cenderung tradisional dan tidak rasionalis. Budaya politik
masyarakat kita masih tergolong budaya politik subjektif Ikatan emosional –dan
juga ikatan-ikatan primordial- masih cenderung menguasai masyarakat kita.
Masyarakat kita terlibat dalam dunia politik dalam kerangka kepentingan mereka
yang masih mementingkan suku, etnis, agama dan lain-lain. Aspek kognitif dan
partisipatif masih jauh dari masyarakat kita.
Salah satu faktor yang juga menjadi penyebab munculnya
masalah etnosentrisme
adalah pluralitas Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. Pluralitas masyarakat
Indonesia ini tentu melahirkan berbagai persoalan. Setiap suku, agama, ras dan
golongan berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan menguasai yang
lain.Pertarungan kepentingan inilah yang sering memunculkan persoalan-persoalan
di daerah.
Contoh Etnosentrisme di Indonesia. Salah satu contoh etnosentrisme di
Indonesia adalah perilaku carok dalam masyarakat Madura. Menurut Latief Wiyata,
carok adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang
laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara sepintas, konsep carok
dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak masuk akal. Hal itu terjadi
apabila konsep carok dinilai dengan pandangan kebudayaan kelompok masyarakat
lain yang beranggapan bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan
dianggap tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat Madura,
harga diri merupakan konsep yang sakral dan harus selalu dijunjung tinggi dalam
masyarakat. Oleh karena itu, terjadi perbedaan penafsiran mengenai masalah
carok antara masyarakat Madura dan kelompok masyarakat lainnya karena tidak
adanya pemahaman atas konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok tersebut
dalam masyarakat Madura. Contoh etnosentrisme dalam menilai secara negatif
konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok dalam masyarakat Madura
tersebut telah banyak ditentang oleh para ahli ilmu sosial.
4. Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa
prancis dan itali “razza” pertama kali istilah ras dikenalkan Franqois Bernier,
antropolog perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang perbedaa manusia
berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah
itu, orang lalu menetapkan hirarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas
orang eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas
berlawanan dengan orang afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua.
Ras sebagai konsep secara ilmiah
digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Bufon, anthorpolog perancis, untuk
menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada
abad 19, para ahli biologis membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu
kaukasoid, negroid dan mongoloid. Hasil penilitian menunjukan bahawa tidak ada
ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan
dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam satu
kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna
kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya
mewakili faktor tampilan luar.
Karena tidak ada ras yang
benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang
bersifat non- biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang
menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultur Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi
kultur. Ada empat jenis ras yaitu : afrika, mongol, dan amerika yang
berturut-turut mencerminkan siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi
(kuning), dan sore (senja) yang merah.
Namun konsep ras yang kita kenal
lebih mengarah pada konsep kultur dan merupakan kategori sosial, bukan
biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis
dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5. Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku
menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam
kelompok (Sears, Freedman & Peplau,1999). Misalnya banyak perusahaan yang
menolak mempekerjakan karyawan dari etnik tertentu. Diskriminasi bisa terjadi
tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum
tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu
terjadi kecenderungan kuat prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi
sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi.
Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk
mendiskriminasikan kelompok tersebut.
Prasangka menunjukkan pada aspek
sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Dengan demikian diskriminatif
merupakan tindakan yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya
diketahui oleh diri individu masing-masing. Diskriminasi menunjukkan pada suatu
tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi
seolah-olah menyatu, tak dapat dipisahkan.Seseorang yang mempunyai prasangka rasial,
biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya.
Demikian juga sebaliknya
seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak diskriminatif.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat
manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan
yang lain.
Sedangkan diskriminasi menurut
Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah ketidak seimbangan atau
ketidak adilan yang ditujukan oleh orang atau kelompok lain yang biasanya
bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras,
kesuku bangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Diskriminasi
bersifat aktif dari prasangka yang bersifat negatif (negative prejudice)
terhadap seorang individu atau suatu kelompok.
Jika prasangka mencakup sikap dan
keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi
biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan
tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hukum. Antara
prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada
prasangka, disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan
atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi
diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari
kelompok dominan terhadap kelompok subordinasi.
6. Scapegoating
Teori kambing hitam mengemukakan
kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka
perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi
ekonomi di jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang yahudi sebagai penyebab
rusaknya sistim politik dan ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di auscwitz,
polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang yahudi. Tua muda,
besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut
yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan
dikirimkan ke jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa
bangsa aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk
membudayakan umat manusia. Bangsa aria (jerman) ini merasa bahwa kekacauan
ekonomi dan politik di jerman disebabkan oleh bagsa yahudi.
DAFTAR
PUSTAKA